Louncing Buku Ilusi tak bertepi

“Menulis terlalu rendah nilainya jika hanya karena kamu ingin dikagumi"

“Mengapa kamu menulis?”

“Apa yang mendorongmu untuk menulis?”

“Apa alasan terbesarmu sehingga memutuskan untuk menulis?”

Mengetahui apa alasan paling besar mengapa kamu menulis adalah motivasi paling kuat yang akan mentenagaimu untuk terus menulis dan menulis.

Penulis mana pun membutuhkan alasan yang kuat untuk menulis dan terus berkarya didalamnya. Memiliki banyak uang dan menjadi kaya tentu dapat saja menjadi motivasi untuk menulis, tapi itu bukan alasan cukup kuat untuk menjadi seorang penulis.

Jika kamu menulis supaya kamu terkenal, kamu kaya dan memiliki banyak uang, terlihat pintar, diingat orang setelah kamu mati, dikagumi, dan lain semacamnya, mungkin itu bukanlah motivasi yang tepat. Orang-orang biasa beralasan dengan hal seperti ini. Namun sejujurnya, itu tidak cukup kuat untuk menjadi alasan terbesar untuk menjadi seorang penulis.

Pertanyaan Untuk Penulis

Penulis yang terbaik jarang menulis lantaran termotivasi kekayaan dan uang. Pada banyak kasus, para penulis hebat itu menulis karena ingin terhubung dengan orang lain dengan tulisan mereka. Ada sesuatu yang mereka perlu ungkapkan, gambarkan, hamparkan dan jelaskan melalui rangkaian kata-kata di atas kertas dan tinta.

Intinya, menulis terlalu rendah nilainya jika hanya karena kamu ingin dikagumi.

2. Pertanyaan Kedua: Untuk Siapa Kamu Menulis? 

“Jika kamu menulis untuk orang lain dan mereka tidak menyukai apa yang kamu tuliskan, kamu akan kecewa. Jika kamu menulis untuk pembaca dan pembaca tidak mengapreasiasi tulisanmu, kamu juga akan kecewa. Tapi jika kamu menulis untuk dirimu sendiri, tidak ada yang bisa mendikte perasaanmu dengan apa pun penerimaan mereka”

A WAN BONG

Ketika saya novel cita-cita dan cinta saya membutuhkan waktu 1 tahun untuk bisa menyelesaikannya bersamaan dengan skripsi saya. 

1 tahun?

Ya, benar 1 tahun lamanya hingga novel itu baru bisa saya selesaikan.

Apa yang terjadi? Mengapa saya bisa menyelesaikan novel itu dalam waktu yang demikian lama?

Ada banyak alasan yang bisa saya sampaikan untuk menjawab pertanyaan untuk sang penulis seperti itu. Namun, esensi yang sangat krusial juga dalam hal ini adalah ketika saya justru mengajukan pertanyaan balik ke diri saya sendiri, yakni;“Untuk siapa sebenarnya saya menulis?Buat siapa saya menuliskan novel ini?"

Saya mengajukan pertanyaan itu ke dalam hati saya yang terdalam dan menemukan jawabannya bahwa bukan untuk itu semua saya membiarkan alasan saya di tengah malam bangun berfikir dan melanjut tulisan. 

Bukan untuk itu semua saya merelakan malam-malam saya bertarung dengan perasaan dan kerinduan yang perih ketika saya mengoreskan kata demi kata menyelesaikan penulisan novel cita cita dan cinta itu. 

Pada hakikatnya, pertanyaan tentang penulisan kata mengenai untuk siapa sebenarnya saya menulis kisah dalam novel tersebut menemukan jawabannya pada diri saya sendiri. Untuk saya sendirilah saya menulis. nya

Saya tidak bisa menahan usia saya yang kian tua dan kelabu. Saya juga tidak dapat menahan bahwa kenangan tentang hidup saya di benak orang-orang yang pernah dekat dengannya, yang juga akan mengabur ditelan masa. Bahkan pada diri saya sendiri, kenangan itu pun akhirnya akan menjadi renta, pikun dan menghilang tak bersisa.

Saya ingin kenangan itu abadi bagi saya dan bagi siapa pun yang membaca kisahnya.

Jadi, saya memang harus menyelesaikan novel itu, bagaimana pun sulitnya. Novel itu bukan untuk orang lain, tapi untuk saya. Saya menulisnya bukan untuk orang lain. 

3. Pertanyaan Kelima: Bagaimana Kamu Menjiwai Penulisan-penulisan Ceritamu?

“Mungkin ini tidak benar, tapi berapa banyak penulis yang menuangkan diri mereka sendiri dalam karakter yang mereka ciptakan?”

 “Bagaimana kamu bisa terhubung secara emosional dengan cerita-cerita yang kamu tuliskan?”

Kamu tahu, banyak para penulis yang meletakkan karakter mereka sendiri dalam tokoh-tokoh yang mereka tuliskan. Ini adalah semacam refleksi emosional kepribadian sang penulis dalam tokoh  (hampir 100% protagonis) dalam cerita yang mereka buat.

Penjiwaan dalam penulisan cerpen, novel dan karya sastra jenis apa pun, adalah sesuatu yang substansial dan penting.

Seorang penulis dengan penjiwaan yang kuat kadang memiliki ikatan emosi yang demikian kuat dengan cerita mereka. Mereka menjadi cerminan dari cerita yang mereka tuliskan, dan cerita yang mereka hasilkan laksana cerminan pula bagi diri mereka sendiri.

Apa contohnya?

Karya sastra klasik yang paling layak untuk mewakili hal ini adalah buku-bukunya Hamka.

Kamu pasti sudah tidak asing dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Terusir dan yang lainnya, bukan? Itu adalah mahakarya sang pengarang yang menjadi salah satu sastrawan terbaik di Indonesia.

Jika kamu pernah membaca buku-buku tersebut, kamu akan tahu betapa kuat rasanya penjiwaan yang Hamka miliki saat menulis karya-karyanya. Sosok seperti Zainuddin seakan adalah jelmaan dari karakter Hamka sendiri.

Kita bisa berbeda pendapat tentang ini. Namun, sebagai penulis yang banyak terinspirasi dari karya-karya Hamka, saya mendukung pernyataan bahwa hampir semua karyanya memiliki penjiwaan yang luar biasa.

4. Pertanyaan Keenam: Bagaimana Kamu Bisa Menjalani Kehidupan Semenarik yang Kamu Ceritakan?

“Seni dalam menulis adalah seperti menemukan apa yang kamu percayai dan kamu hidup dengan kepercayaan itu”

Ini menarik, karena tidak semua penulis mampu melakukannya. Bahkan para penulis buku best seller pun tidak cukup banyak merefleksikan ini dalam kehidupan mereka. Setidaknya secara terang-terangan.

Namun, penulis-penulis terhebat kadang menjalani kehidupan sama menariknya dengan kisah-kisah yang mereka ceritakan. Orang-orang seperti Charles Bukowski, Leo Tolstoy, JK. Rowling, Carl Jung dan Robert Frost, memiliki kisah hidup yang menarik.

Bahkan di Indonesia, kamu juga bisa menemukan hal yang sama dalam diri penulis Hamka, orang yang saya jadikan contoh dalam pertanyaan untuk penulis yang kelima. Hamka memiliki kisah hidup yang menarik, penuh prestasi, penuh perjuangan, penuh prinsip yang membara dan juga pertentangan yang tak terkira.

“Mampukah dan maukah kamu menjalani kehidupan yang menarik, semenarik kisah-kisah yang kamu ceritakan dalam novel dan roman itu?”

Semua orang memiliki kisah hidup yang unik dan menarik, namun hanya penulis yang mampu membuatnya menjadi lebih istimewa untuk dicerna. Kamu tidak harus nekat menjalani kehidupan yang ekstrim dan nyeleneh sebagai penulis, tapi pengalaman akan berbicara cukup kuat dalam karya-karyamu dengan sendirinya.

Tulisan terbaik datang dari pengalaman.

Dan tentu saja, sumber daya terbesar yang kamu miliki sebagai seorang penulis adalah pengalamanmu sendiri. Pengalaman adalah lautan yang bisa kamu ubah menjadi mahakarya istimewa. 

Alam takambang menjadi guru, sudah jelas guru bnyak memberi pelajaran dalam hidup dan kehidupan" faidil

“Jika tidak ada seorang pun yang memberikan apresiasi terhadap tulisanmu, apakah kamu akan terus menulis?"

Apa yang akan kamu lakukan?

Apakah kamu akan terus menulis ataukah kamu akan berhenti dan alih profesi?

Pertanyaan terakhir untuk penulis ini akan secara tidak langsung mengembalikan kamu pada pertanyaan pertama dan keduan; “Mengapa kamu menulis dan untuk siapa kamu menulis?”

Jika kamu tidak mendapatkan alasan yang kuat untuk menulis dan tidak pula memiliki tujuan yang jelas untuk apa kamu menulis, kamu bisa goyah pada pertanyaan yang terakhir ini. Tidak ada yang menyukai tulisanmu, buat apa kamu melakukannya lagi?

Kamu tidak akan terkenal, tidak akan dikagumi, tidak akan kaya raya dan mandi uang dengan menulis. Jadi, mengapa harus diteruskan?

Akan tetapi jika kamu menulis untuk berbagi, untuk terhubung dengan orang-orang, untuk membiarkan akalmu tetap hidup dan bersyukur dengan kreasi imajinasi, mungkin kamu akan tetap menulis.

Bagaimana pun pedihnya, bagaimana pun buruknya, setiap tulisan paling tidak akan berpengaruh bagi seseorang di dunia yang luas ini. Begitu juga dengan tulisanmu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MYFAMILY IS EVERYTHING

Dialog Kepemudaan

PETA PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM DI INDONESIA